PENJELASAN ATAS UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 36 TAHUN 1999 TENTANG
T E L E K O M U N I K A S I U M U M
Sejak diundangkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi,
pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan
peran panting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian,
memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa
dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta
meningkatkan hubungan antar bangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang
berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar,
melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang
dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan
teknologi informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan
kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah
merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam
penyelenggaraan telekompnikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan
keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Perkembangan
teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan
penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial
tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antar negara atas dasar
kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan
multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi den diikuti.
Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services (GATS) di
Marrakesh, Maroko, pada tgl. 15 April 1994, yang telah diratifikasi dengan
Undang - undang No. 7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas
perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri
untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi. Dengan memperhatikan hal tsb
di atas, maka peran Pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi
penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian dengan
mengikutsertakan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak
mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang
Dasar 1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Oleh karena itu, ha12 yang menyangkut
pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang merupakan
sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional serta
dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara nasional maupun
internasional, terutama di bidang teknologi telekomunikasi, norma hukum bagi
pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi yang diatur dalam Undang - undang
No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi perlu diganti.
Undang-Undang ITE boleh disebut
sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia
maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang
sedikit terlewat. Muatan UU ITE adalah sebagai berikut:
ü Tanda tangan elektronik
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah
dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda
tangan digital lintas batas)
ü Alat bukti elektronik
diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
ü UU ITE berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia
maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
ü Pengaturan Nama domain dan
Hak Kekayaan Intelektual
ü Perbuatan yang dilarang
(cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
- Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
- Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
- Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
- Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
- Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
- Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
- Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
- Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?)
Berikut ini adalah penjelasan
mengenai latar belakang lahirnya Undang-Undang ITE:
- Presiden mengeluarkan Undang-undang ini untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat Indonesia dan luar Indonesia. Dalam pasal-pasal yang menjelaskan memberikan rasa aman dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Semakin
berkembangnya kejahatan dalam masyarakat, sehingga hukum tjuga harus
berkembang agar fungsinya sebagai pemberi rasa aman dapat terpenuhi,
dengan adanya Undang-undang ini maka diharapkan masyarakat takut untuk
melakuakan kesalahan, karna dijelaskan pada pada ayat (1), bertanggung
jawab atas segala kerugian dan konsekwensi yang timbul, tetapi dalam
Undang-Undang ITE pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a)
jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.
b)
jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c)
jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Pada pasal 33 menjelaskan bahwa
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan
apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan
Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Juga undang ini
barang siapa yang melanggar akan mendapatkan hukuman atau sangsi.
- Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuripun tidak memungkinkan dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya, pencurian bandwidth, dan lain sebagainya.
- Indonesia menjadi tampak tertinggal dan sedikit terkucilkan di dunia internasional, karena negara lain misalnya Malaysia, Singapore dan Amerika sudah sejak 10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan Cyberlaw yang mereka miliki. Malaysia punya Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) 1997, Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan Multimedia) 1998, dan Digital Signature Act (Akta Tandatangan Digital) 1997. Singapore juga sudah punya The Electronic Act (Akta Elektronik) 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. Amerika intens untuk memerangi child pornography dengan: US Child Online Protection Act (COPA), US Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), US New Laws and Rulemaking. Jadi Undang-Undang ITE adalah kebutuhan kita bersama. Cyberlaw akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet, para akademisi dan masyarakat secara umum.
- Menjamin kepastian hukum di bidang informasi dan transaksi elektronik. Jaminan tersebut penting, mengingat perkembangan teknologi informasi telah mengakibatkan perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Perkembangan teknologi informasi telah memudahkan kita mencari dan mengakses informasi dalam dan melalui sistem komputer serta membantu kita untuk menyebarluaskan atau melakukan tukar-menukar informasi dengan cepat. Jumlah informasi yang tersedia di internet semakin bertambah terus tidak dipengaruhi oleh perbedaan jarak dan waktu.
0 komentar:
Posting Komentar